My Reflection
Nama lengkapku Felix Wahyu Utomo, di rumah biasanya aku dipanggil dengan nama Felix. Namun, ketika masuk di Seminari Wacana Bhakti aku mendapat nama panggilan Feto. Aku lahir di Jakarta tepatnya pada tanggal 15 oktober 1993. Aku adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Kakakku bernama Antonius Suryantopo. Aku berasal dari Paroki SantoThomas Rasul, Bojong Indah. Ayahku bernama Archandius Sumarso sedangkan ibuku bernama Christina Supinah. Mereka sangat sayang kepadaku, seperti orang tua pada umumnya mereka. Namun, mereka mempunyai cara masing-masing dalam memberikan kasih sayangnya kepada aku maupun kakakku. Kalau ayahku mempunyai prinsip bahwa menyayangi anak tidak harus dengan suatu kemanjaan tetapi dengan suatu ketegasan. Menurutku, ayahku adalah seorang yang disiplin dan tegas. Namun, ketegasan yang diberikan kepadakku tidak kuanggap sebagai suatu beban tetapi aku anggap sebagai suatu pelajaran yang harus aku terima. Ibuku adAlah seorang yang penyayang. Satu hal yang aku kagumi dari ibuku, yaitu ketabahan dan kesabaran yang dia miliki. Mereka selalu mendukung tujuan hidupku, asalkan itu semua mengarah pada hal yang baik.
Dulu aku ingin sekali menjadi pemain sepak bola yang terkenal. Seiring jalannya waktu, apa yang aku cita-citakan dulu berubah 180 derajat dengan cita-citaku sekarang ini. Sekarang ini, aku merasa Tuhan memanggilku untuk menjadi pekerja di kebun anggur-Nya. Panggilanku itu tumbuh ketika aku masih tinggal di Balikpapan tepatnya ketika aku masih duduk di kelas 5 SD. Saat itu aku sedang mengikuti misa pagi yang dipimpin oleh Rm.Yoseph,OMI. Dalam misa tersebut, Rm.Yoseph, OMI berkotbah tentang perjuangan yang dilakukannya dalam tugas pelayanannya. Dalam tugas pelayanannya itu dia harus menerima segala sesuatunya apa adanya. Suatu kali dia ditugaskan oleh bapak uskup untuk ditugaskan ke suatu stasi di pedalaman Balikpapan. Dia tidak bisa menolak itu semua, mau tidak mau dia harus menerima itu semua. Dia tahu bahwa mengemban pelayanan dalam stasi pedalaman sangatlah sulit. Namun, itu semua dia terima apa adanya.
Dari hal itu, aku merasa tergerak untuk membantu tugas pelayanannya, hingga akhirnya ketika aku lulus SMP aku memutuskan untuk masuk seminari. Namun, sebelum memutuskan itu semua terlebih dahulu aku meminta restu kepada orang tuaku. Akhirnya, orang tuaku menyetujui tujuan hidupku tersebut. Aku sangat senang ketika mendengar hal itu. Waktu terus berjalan merubah hidupku hingga akhirnya secara sah aku menjadi anggota dalam komunitas di Seminari Wacana Bhakti.
Dalam kehidupanku di Seminari ini banyak hal-hal baru yang aku dapat. Di sini aku mencoba hidup dalam suatu komunitas. Aku tahu bahwa hidup berkomunitas itu sangatlah keras tetapi apa boleh dikata itu semua adalah sebuah tantangan. Aku menganggap seminari ini adalh tempat yang tepat bagi pengelolahan panggilanku ini. Di sini aku diproses sebaik mungkin agar menjadi seorang pemimpin yang unggul. Setelah aku menjadi seorang seminaris, aku merasa bahwa diriku berbeda dengan anak-anak di luar sana. Aku menganggap bahwa Allah memanggilku untuk menjadi pekerja di kebun anggurnya. Satu hal yang membedakan seorang seminaris dengan anak-anak di luar sana, yaitu di seminari ini seminaris sudah mempunyai tujuan yang jelas sedangkan anak-anak di luar sana masi terlunta-lunta tujuan hidupnya. Aku akui hidup sangatlah berat, selain mempunyai jadwal yang padat, seminari juga mempunyai ketegasan dan kedisiplinan yang kuat. Seminari Wacana Bhakti juga memiliki jadwal yang padat sekali dan waktu yang disediakan pun sangatlah ketat. Maka dari itu, aku melatih diriku untuk mengatur waktu sebaik mungkin. Dulu sebelum aku masuk seminari, aku adalah orang sulit untuk mengatur waktu dengan baik. Lebih parahnya lagi, waktu belajar yang aku miliki hanya aku pakai untuk bermain dan bermain. Setelah aku memutuskan untuk masuk seminari, aku mencoba mengatur waktuku dengan baik. Buktinya, waktu Studi yang aku miliki benar-benar aku pergunakan dengan baik. Aku mulai menyadari bahwa waktu tidaklah mengaturku tetapi akulah yang mengatur waktu itu sendiri.
Aku merasa hidup di seminari adalah sebuah tantangan tersendiri dalam diriku. Di sini aku mencoba meninggalkan kehidupanku yang lama, yang penuh dengan kebebasan dan membangun suatu kehidupan yang baru. Namun, aku memutuskan untuk hidup di seminari ini bukan semata-mata aku hanya ingin mencari keistimewaan saja tetapi lebih pada pengelolahan panggilanku. Dalam proses pengelolahan ini aku harus mampu meninggalkan segala nafsuku baik itu teman, adik, kakak bahkan orang tua. Dalam diriku memang itu semua sangat sulit untuk ditinggalkan tetapi asalkan aku mendapatkan tujuan hidupku itu semua tidak menjadi masalah dalam diriku. Walaupun nafsu dalam diriku sulit untuk ditinggalkan, aku tetap mencoba meninggalakan nafsuku itu. Aku hidup di seminari ini karena aku merasa Yesus memanggilku untuk menjadi pekerja di ladang anggurnya. Saat ini aku hanya terus mencoba mengikuti alur kehidupanku di seminati ini dan tetap semangat mempertahankan panggilanku ini, sebab aku tahu bahwa Yesus selalu hadir dalam diriku.
Label: My Self